Template by:
Free Blog Templates

Kamis, 22 September 2011

Sifat Dalam Konsumerisme

Sifat Konsumerisme


Di dalam masyarakat kontemporer telah terjadi perubahan mendasar mengenai sikap atau perilaku dalam mengkonsumsi barang atau produk. Bukan lagi aspek fungsi tetapi sifatnya lebih pada keuntungan emosional (emotional benefits). Mereka membeli sebuah produk atau barang bukan karena pertimbangan pada aspek fungsi, tetapi pada umumnya sekedar suka, tertarik mengikuti trendsetter atau bahkan bisa saja sekedar iseng-iseng. Di dalam perubahan tersebut, yakni sikap konsumsi yang tidak lagi berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Di pihak lain, konsumen dapat juga dipandang sebagai satu fenomena bawah sadar (unconscious) yang dengan demikian ke dalam kawasan psikoanalisis. Bahkan iklan mampu "menyulap" suatu keinginan (want) menjadi sebuah kebutuhan (need), mesti dicoba dan harus di beli, sehingga mendorong penonton untuk bertindak konsumtif. Iklan sebagai pembujuk tersembunyi yang beroperasi dibawah alam sadar, secara tanpa disadari tayangan iklan membujuk kita terus mencoba dan membeli. Padahal jika dikaji secara fungsi model atau varian dari produk tersebut tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. .budaya diatas adalah sebuah bentuk budaya konsumsi, sebagai bentuk spesifik budaya materi (material culture). 

Konsumen yang dirujuk melalui budaya konsumer dari lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi atau lebih tepatnya, "perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka hidup". Begitu banyak orang yang merasa bangga mengikuti trendsetter dengan model terbaru untuk aktualisasi diri atau kelompoknya. Jika ada anggapan bahwa posisi Indonesia semakin strategis dan penting di kawasan Asia bukanlah semata-mata pertimbangan politik saja, tetapi pertimbangan secara ekonomi pun sangat kuat, terutama di dalam menciptakan pangsa pasar bagi produk-produk manufaktur Barat. Hal ini didukung terutama oleh sikap masyarakat konsumen kita yang responsif dan agresif terhadap suatu produk yang di iklankan melalui berbagai media terutama televisi, apa pun dan berapa pun harganya akan di lahap secara rakus.

Terdapat beberapa pendekatan iklan, diantaranya dengan pendekatan gaya hidup (life style) merupakan sebuah alternatif yang dominan saat ini. Bagaimana posisi atau peran sebuah produk dalam sebuah gaya hidup tertentu. Jika tidak menggunakannya, rasanya kurang 'pas' atau tidak percaya diri. Rokok Marlboro diyakini sebagai representasi cita rasa dan gaya hidup 'cowboy' ala amerika; minumnya mesti Coca-cola, lalu celananya mesti merk Levi's dan seterusnya. Selanjutnya semua hal diatas berubah menjadi sebuah keharusan. Jika tidak demikian rasanya kurang 'sreg' atau kurang sempurna. Tuntutan terhadap benda atau asesoris yang homologin inilah yang mendorong perilaku konsumtif.

Rokoknya lelaki merupakan 'key word' sebuah iklan rokok yang segera saja dapat memancing atau menciptakan persepsi bahwa jika merokok merk X maka ia akan merasa sebagai lelaki sejati yang jantan dan macho. Banyak iklan-iklan yang secara tidak sadar mengidentikan pembelinya dengan produknya, misalnya minyak goreng pilihan ibu bijak; sabunnya kecantikan; kendaraannya para eksekutif. Jika tidak menggunakan sabun diatas rasanya belum cantik sehingga kita mesti membelinya dan sungguh tidak bijak kalau ibu-ibu tidak memasak dengan minyak goreng diatas..hmmm

Dorongan untuk mencoba membeli tersebut terjadi pada umumnya secara tidak sadar. Kita pun secara tidak sadar mengkonsumsi produk-produk yang ditayangkan TV.

| Free Bussines? |

0 komentar:

Photobucket