Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan Reformasi merupakan momen yang berisi harapan dan kemajuan Indonesia. Sementara kemajuan bangsa ini terletak pada kesejahteraan rakyatnya. Semakin rakyat pada sebuah bangsa sejahtera, maka bisa dikatakan bahwa bangsa tersebut maju.
Untuk membawa rakyat Indonesia menuju kesejahteraan dan kesentosaan hidup, maka kebijakan dari pemerintah yang berkuasa sangat penting. Arah pembangunan Negara berpusat dari kebijakan pemerintahnya. Selama lebih dari 10 tahun reformasi berlangsung, sudah banyak kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah.
Pendidikan salah satunya yang ikut dalam agenda kebijakan pemerintah tersebut. Karena dengan pendidikanlah generasi muda dapat terbentuk dengan baik. Berdirinya Budi Utomo, yang di sebut sebagai tonggak Kebangkitan Nasional, tidak lepas dari peran para pemuda yang tergabung dalam sebuah institusi pendidikan, yaitu sekolah kedokteran STOVIA. Dan KI Hajar Dewantara pun juga ikut berpartisipasi dengan mendirikan Taman Siswa sebagai bentuk melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu kebodohan dan buta huruf.
Pendidikan pada dasarnya memiliki filosofi mencetak manusia agar mampu memahami akan kehidupannya. Semakin pendidikan di katakan baik, semakin banyak juga menghasilkan manusia yang lebih peka terhadap lingkungan sekitar, juga bisa kreatif menghadapi kerasnya tantangan zaman. Menyikapi pentingnya pendidikan ini, maka kebijakan pemerintah tentang pendidikan menjadi sangatlah penting. Keberlangsungan pendidikan yang jelas tidak bisa tanpa kebijakan yang benar.
Karena pendidikan merupakan sarana mencetak generasi menjadi lebih baik, maka hak untuk mendapatkan pendidikan juga di jamin oleh undang – undang, artinya undang – undang menyebutkan bahwa Negara wajib memberikan pendidikan kepada setiap warga negaranya.
Namun, sayangnya hanya isapan jempol belaka. Karena tidak semua rakyat bisa menikmat “mewah”nya pendidikan. Ya, pendidikan saat ini ternyata berubah menjadi sesuatu yang special atau eksklusif dan hanya orang – orang tertentu saja, terutama yang berkantong tebal atau kaum menengah keatas. Biaya di tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi semakin lama dirasa semakin mahal.
“Pendidikan yang bermutu itu mahal”. Kalimat ini yang sering di ungkapkan oleh para masyarakat miskin atau menengah ke bawah. Mahalnya pendidikan dari TK hingga Perguruan Tinggi membuat masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali anak – anak mereka putus sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya kurang lebih sekitar Rp.500.000,- – Rp. 1.000.000,-. Bahkan ada sebagian sekolah yang memungut biaya masuk diatas Rp 1 juta. Dan biaya untuk dapat masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 5 juta, dan bahkan ada yang lebih dari itu. Semakin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini, tentu tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Manajemen Berbasis Sekolah ini di Indonesia pada realitanya lebih memaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Dan oleh karena itu, Komite sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu di isyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, para pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok “ sesuai dengan keputusan Komite Sekolah “. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang yang dekat dengan kepala sekolah. Dan akhirnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legimitasi dari pelepasan tanggung jawab Negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran Negara dalam sector pelayanan public, tidak lepas dari tekanan utang luar negeri dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia kurang lebih sebesar 35 – 40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan salah satu pendorong terjadinya dampak privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga inggal 8 persen (kompas, 10/05/2005). Dari APBN 2005 hanya 5.82% yang dialokasikan untuk pendidikan jauh dengan perbandingan dana untuk membayar utang yang menguras kurang lebih 25% belanja dalam APBN.
Kondisi ini di buat tambah buruk dengan di buat nya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Berubahnya system pendidikan dari milik public ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secacra mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontoversional. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di peguruan tinggi favorit.
Rencana pemerintah memprivatisasi pendidikan di legitimasi melalui sejumlah peraturan seperti Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pendidikan dasar dan menengah, dan RPP tentang Wajib belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu misalnya, terlihat dalam pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dapat kita ketahui bahwa disebutkan, penyelenggara/satuan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah di bebaskan mencari dananya atu modalnya sendiri untuk di investasikan dalam operasional pendidikan.
Padahal, kalau kita melihat. Jika pemerintah melakukan privatisasi pendidikan, berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggara pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggara pendidikan. Dan sekolah pun tidak ragu – ragu akan mematok biaya setinggi – tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak – kotak berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara – negara donor lewat bank dunia. Melalui Rancangan Undang – Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidian kelak akan menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga Perguruan Tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argument ini hanya berlaku di Indonesia saja. Di Jerman, Perancis, Belanda dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya lebih rendah. Dan bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas memang tidak murah, tetapi persoalannya siapa yang harus membayarnya?.... . kewajiban pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat golongan menengah kebawah untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Akan tetapi, kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawabnya. Padahal keterbatasan dana tidaklah dapat di jadikan alasan bagi pemerintah untuk “CUCI TANGAN”.
Akibat paradigma pendidikan nasional yang materialistik – sekularistik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia semakin memburuk dan memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota di tambah dengan sejumlah perilaku mereka yang sudah tergolong dalam kategori kriminal, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan pergaulan bebas adalah sebuah bukti yang nyata bahwa pendidikan tidak berhasil membentuk anak didiknya menjadi lebih baik.
Dari lain sisi, keahlian pun sangat jauh jika di bandingkan dengan negara lain. Indonesia yang sudah lama tergabung dalam ASEAN, kecuali Singapura dan Brunei Darussalam, Indonesia masuk dalam kategori negara yang Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya di tingkat medium. Jika dilihat dari Indikator Indeks Pendidikan, Indonesia berada di atas Myanmar, Kamboja, dan Laos atau ada diperingkat 6 negara ASEAN. Dan bahkan Indeks Pendidikan Vietnam yang pendapatan perkapitanya lebih rendah dari Indonesia adalah lebih baik.
Jika dibandingkan dengan India, sebuah negara yang memiliki segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, dan pendidikan yang relatif rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh. India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Berbekal dari penguasaanya di dalam bidang teknologi, khususnya teknologi Informasi, negeri dengan jumlah penduduknya kurang lebih dari 1 miliar itu mempunyai target menjadi negara maju dan satu dari lima penguasa dunia pada tahun 2020. Mimpi ini tak muluk – muluk jika kita menengok kekuatan pendidikannya. Meski negara ini masih bergulat dengan persoalan buta huruf dan pemerataan pendidikan dasar, India mempunyai sederet perguruan tinggi yang benar – benar menjadi pusat unggulan dengan reputasi Internasional. Digerakkan oleh keberadaan pusat unggulan itu, kini pemerintah India harus lebih serius membenahi pendidikan masyarakat bawah.
Prestasi India dalam teknologi dan pendidikan sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih di bayang – bayangin pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar kerja Internasional. Bahkan di AS, kaum profesional asal India memberi warna tersendiri bagi negara adikuasa itu. Sekitar 30% dokter di AS merupakan warga keturunan India. Tidak kurang dari 250 warga India mengisi 10 sekolah bisnis paling top di AS. Dan sekitar 40% pekerja Microsoft berasal dari India. (Tempo, 1/3/2007)
Berdasarkan peringkat Universitas terbaik di Asia versi majalah Asiaweek 2007, tidak satu pun perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik.
Universitas Indonesia berada di peringkat 61 dalam kategori Universitas multidisiplin
Universitas Gadjah Mada berada di peringkat 68
Universitas Diponegoro berada di peringkat 77
Universitas Airlangga berada di peringkat 75
Institut Teknologi Bandung berada di peringkat 21 untuk kategori Universitas sains dan teknologi, kalah dengan Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pakistan
Penyelesaian problem pendidikan yang mendasar tentu harus di lakukan secara fundamental. Itu hanya dapat di wujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang di awali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma islam. Lalu kelemahan fungsional yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah atau kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya dapat di perbaiki dengan cara memperbaiki strategi fungsional.
Selain itu, untuk mengatasi problem komersialisasi pendidikan, perlu dilakukan langkah – langkah yang sistematis dengan merombak semua sistem mulai dari paradigma pendidikan hingga paradigma ekonomi, sehingga seluruh rakyat akan dapat menikmati pendidikan di Indonesia dengan murah dan bermutu tinggi sebagai bagian dari public service semata yang di berikan oleh negara kepada rakyatnya. Dengan demikian, akan lahir secara massal SDM yang berkualitas unggul serta memiliki daya saing Internasional yang tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar