Template by:
Free Blog Templates

Minggu, 15 November 2009

Politik Pendidikan

Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, dimana mayoritas orang mengalami penindasan dan minoritas orang lagi menikmati hasil jerih payah orang lain dengan tidak adil. Baignya penindasan, apapun alasannya merupakan sesuatu yang manusiawi dan sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi ini bersifat ganda, terjadi atas diri manusia yang tertindas dan manusia lain yang menindas. Mayoritas kaum tertindas tidak manusiawi karena hak-hak mereka dinistakan, dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence) 1. Minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.

Humanisasi (memanusiakan manusia) akhirnya menjadi pilihan mutlak bagi kemanusiaan. Hal ini dapat terjadi karena dehumanisasi bukan merupakan suatu keharusan sejarah. Jika humanisasi sebagai keharusan sejarah menyimpang maka menjadi tugas manusia untuk mengubahnya menjadi seharusnya. Menjadi fitrah tentang manusia sejati (the man’s ontological vocation). Fitrah manusia sejati ialah menjadi subyek bukan obyek. Panggilan manusia sejati ialah menjadi pelaku yang sadar yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas. Dunia dan realitas bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya dan harus diterima apa adanya, namun manusia harus menggeluti dunia dan relaitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta sehingga diperlukan suatu bahasa pikiran (thought of language). Bahasa pikiran dimaksudkan bahwa manusia harus mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan praksisnya.

Selain memiliki kesadaran (consciousness), kepribadian dan eksistensi, manusia juga keterbatasan, dengan fitrahnya yang humanis seseorang harus mampu untuk mengatasi situasi-situasi batas (limit situations) yang mampu mengekangnya. Seseorang yang menusiawi harus bisa menjadi the creator sejarahnya sendiri. Karena manusia makhluk social maka kenyataan “ada bersama (being together)” harus dijalani sebagai proses menjadi (becoming) yang tidak pernah selesai. Manusia adalah penguasa atas dirinya sehingga ia harus menjadi merdeka dan bebas. Humanisasi adalah pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan dirinya dari penindasan yang tidka manusiawi dan membebaskan para penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan.


Pembebasan menjadi Hakekat Tujuan
Bagi Freire, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan relaitas diri manusia dan dirinya sendiri. Kebutuhan obyektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi juga memerlukan kemempuan subyektif sekaligus kesadarannya untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, obyektifnya. Dalam hal ini kesadaran subyektif dan kebutuhan obyektif merupakan sesuatu yang dialektis dan konstant. Oleh karena itu maka pendidikan harus melibatkan tiga unsure sekaligus dalam hubungan yang dialektis, yaitu pengajar, pelajar dan realitas dunia.

Pengajar dan pelajar adalah subyek yang sadar (cognitive) dan realitas dunia adalah sesuatu yang tersadari atau disadari (cognize), sebuah system yang tidak pernah ada dalam system pendidikan mapan yang ada sekarang ini.

System pendidikan yang mapan memiliki konsep bank (banking concept of education), dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar kelak ia dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial yang kemudian siap dipetik hasilnya2. Para investornya ialah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa sementara depositonya adalah ilmu pengetahuan. Guru menjadi subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan pada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihapalkan. Daftar antagonisme pendidikan gaya bank:
1. guru mengajar, murid belajar.
2. guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. guru berpikir, murid dipikirkan
4. guru bicara, murid mendengarkan
5. guru mengatur, murid diatur
6. guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
9.  guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid
10. guru adalah subyek proses berjalan, murid obyeknya

Pendidikan semacam ini akan menciptakan Nekrofili 3 bukan biofili. Implikasinya, murid akan menjadi duplikat guru mereka dahulu dan melahirkan generasi-generasi penindas. Jika diantara mereka ada yang menjadi guru maka rantai proses penindasan akan terus berlangsung. Oleh sebab itu proses penindasan akan menjadi sebuah alat untuk melanggengkan status quo, bukan lantas menjadi sebuah kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaruan. System pendidikan harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Namun yang terjadi ialah bahwa kemudian system telah membuat manusia bahkan tercerabut dari esensinya (disinherited masses) dari realitas dirinya dan realitas dunia dan bangsanya.

Pendidikan harus merupakan pendidikan yang membebaskan, harus menjadi proses memerdekakan bukan penjinakan social budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia sehingga secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi total, untuk mengubah kenyataan yang menindas dan menumbuhkan kesadaran secara terus-menerus akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas.

Praxis adalah manunggal kata, karya dan karsa. Karena manusia adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Praxis tidak dapat dipisahkan dari ketiga unsure yang membangunnya. Jika dipisahkan maka akan ada dua kutub ekstrem yang terjadi yaitu pendewaan berlebihan pada kerja (sacrifice of activism). Kerangka dasar system ini yang kemudian menjadi dasar bagi system pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire, sehingga pendidikan akan menjadi sebuah proses yang berlangsung terus-menerus sepanjang daur hidup seseorang. Freire sendiri menyebut model pendidikannya sebagai “pendidikan hadap masalah” atau problem posing education. Anak-anak menjadi subyek yang belajar, bertindak dan berpikir dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakannya dan buah pikirannya. Proses yang sama juga dihadapi oleh sang guru. Akhinya bahwa siswa dan guru sama-sama belajar dan memanusiakan. Akibatnya tercipta hubungan intersubyek untuk memahami obyek bersama yaitu realitas.

Penyadaran sebagai Inti Proses
Model pendidikan yang diajukan oleh Freire ini menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut terhadap kebebasan” atau fear of freedom. Dengan menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire mengakui akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientasi4), karena proses penyadaran itu adalah hakikat dari pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang harus tetap berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya:
a. kesadaran naïf,
b. kesadaran pragmatis,
c. kesadaran kritis,
d. kesadarannya kesadaran (the consice of the consciousness), intensionalitas pengalaman akan realitas, keterlibatan penuh dan sadar dalam suatu proses.
Orang yang mengerti bukan menghafal karena ia melakukan itu semua berdasar dengan “system kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan sesuatu secara mekanis tanpa perlu sadar akan apa yang dilakukannya.

Kata-kata yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Pendidikan harus memberi keleluasan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri. Sehingga proses pengaksaraan dan keterbacaan pada tingkat yang paling awal sekali dan semua proses pendidikan harus benar-benar merupakan proses yang fungisonal, bukan sekedar suatu kegiatan teknis mengajar huruf dan angka serta merangkai kata menjadi kalimat. Freire kemudian menyusun suatu konsep pendidikan melek-huruf fungisonal menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari tema pokok pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. prosesnya sendiri dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
1. tahap kodifikasi dan dekodifikasi, merupakan tahapan pendidikan melek huruf elementer dalam konteks konkret dan teoritis (melalui gambar dan certa rakyat).
2. tahap diskusi cultural, merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok kerja kecil yang sifatnya problematic dengan kata-kata kunci.
3. tahap aksi cultural, merupakan tahap praxis yang sesungguhnya dimana tindakan setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.


Dikutip dari buku Pendidikan Kaum Tertindas karangan Paulo Freire

| Free Bussines? |

0 komentar:

Photobucket