Apakah bangsa ini sudah terdidik? Atau memang sudah terdidik ,namun terdidik untuk menjadi boneka Neo –Liberalisme yang menindas bangsanya sendiri? Pertanyaan ironi inilah yang selalu tak pernah terjawab! Entah sudah berapa kali kita semua telah memperingati hari pendidikan nasional tapi setiap tahun pula kita hanya berdiri diam dan mendengarkan ceramah pepesan kosong Pembina upacara. Betul sekali setiap tahun kita hanya diperintahkan untuk melakukan ritualitas belaka. Namun, Pembodohan dan pemelaratan yang menjadi pendidikan dan kurikulum sebagian besar rakyat Indonesia.
Kenyataannya pendidikan hanya menjadi media penguasa untuk membelenggu kesadaran rakyat Indonesia dengan tembok tebal penindasan yang mereka lakukan. Sehingga pendidikan menjadi begitu etis untuk wajib dienyam oleh segenap generasi bangsa ,dan ketika itulah PENDIDIKAN ADALAH CANDU ,padahal esensi dasar dari PENDIDIKAN ADALAH PEMBEBASAN manusia atas segala ketertindasan terhadap kemanusiaannya.
Kita semua pernah tahu, bahwa politik etis pernah berlangsung di negeri ini, dan kita tahu pula apa maksud yang tersembunyi dari politik etis itu. Mereka para kaum kolonialis Belanda “mendidik” rakyat pribumi menjadi tenaga- tenaga administratur,dan kesehatan hanyalah taktik para penjajah itu untuk menciptakan kelas penindas baru yaitu kelas elit pribumi yang menghamba dan berwatak penjilat. Disamping itu juga karena mereka bisa membayar murah para tenaga pribumi ini daripada harus mendatangkan tenaga serupa dari Eropa.
Kini politik etis dalam bentuk baru telah dioprasikan oleh kekuatan Neo-liberalisme/Globalisasi melalui otak busuk para penguasa Negara ini untuk memelihara sekian banyak watak inlander. Hal ini bisa kita lihat dari sistem kurikulum pendidikan kita yang sesungguhnya tidak mencerminkan kebutuhan rakyat Indonesia. Pendidikan kita cenderung Industrialis daripada agraris. Padahal “katanya” sebagian besar rakyat kita adalah petani. Namun mengapa sekian banyak fakultas pertanian yang dibangun oleh Negara ini malah tak mampu menciptakan sosok petani yang handal. Malahan mereka hanya mau menjadi peneliti proyekan dan mengindustrialisasikan sector pertanian.
ANTARA PENDIDIKAN DAN KEKUASAAN
“ Buruknya perangai kekuasaan dan keberhasilannya mempraktekkan hegemoni sehingga terjadi keseragaman mental antara penguasa dan yang dikuasai “
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa cerminan pendidikan kita adalah bagaimana pendidikan ini merupakan alat dari system kekuasaan Negara yang diciptakan untuk menidurkan kesadaran massa rakyat atas penindasan yang dilakukan oleh para penguasa Negara terhadap dirinya.
Pendidikan menjadi alat sekaligus pengharapan bagi rakyat Indonesia dengan dogma dogma penguasa Negara yang “mewajibkan” bentuk penghambaan yang mutlak atas kekuasaan penguasa yang menguasainya. Relasi ini tidaklah serta merta dengan begitu saja tercipta, melainkan runtutan peristiwa sadar dan terpola yang dilakukan para penguasa untuk menciptakan pembodohan tesistematis melalui kurikulum pendidikan yang tentu saja tidak bebas nilai.
Pembodohan, Bukan dalam artian ketidak mampuan rakyat Indonesia untuk mengetahui berapa penjumlahan antar 1 ditambah 1. tetapi pembodohan yang dimaksud adalah ketidakmampuan rakyat Indonesia untuk membaca dan memahami sekian banyak proses penindasan dan pemiskinan yang terjadi dengan segenap kesadaran yang mereka punya sebagai manusia seutuhnya. Seakan-akan kita semua mereka ciptakan hanya menajdi manusia yang seolah-olah Seolah olah memahami apa yang terjadi pada diri kita. Padahal bias pendidikan itulah yang sesungguhnya menindas kita.
Kekuasaan, Kemudian buka hanya digambarkan dengan kekuatan structural bernegara. Namun, kekuasaan yang tak terstruktur juga memiliki daya jangkau yang lebih dashyat untuk menguasai dan membelenggu ala pemikiran tentang keberadaan diri kita yang diukur dengan seberapa usaha kita untuk setia menjadi mimesis. Penguasaan dan belenggu atas kesadaran inilah yang menciptakan manusia manusia Indonesia tanpa otak laksana mesin tak bernyawa.
Tan malaka, dalam bukunya Madilog berkata : “Kalau Indonesia tidak merdeka ,maka ilmu pengetahuan akan terbelenggu. Semua Negara merdeka menasionalkan, merahasiakan penemuan, guna dipakai sendiri untuk persaingan dan perniagaan dan peperangan! Saintis Indonesia jangan bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama pemerintahan Indonesia di kemudian hari, dipengaruhi dan diawasi leh Negara lain berdasar kapitalisme, Negara apapun juga dibawah kolong langit ini”
ANTARA KURIKULUM DAN REALITAS
Kurikulum adalah batasan dari lmu pengetahuan yang menjadi panduan pendidikan dalam bentuk materi tertentu. Sedangkan ilmu pengetahuan ada ketika terjadi pola hubungan antara manusia satu dengan yang lain, antara manusia dengan lingkungan, antara manusia dengan kelompok , antar kelompok dengan kelompok,dll. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dari pola hubungan tadi yang melahirkan ilmu pengetahuan tersebut akan menelurkan suatu system pengajaran yang dinamakan pendidikan, Jadi ilmu pengetahuan beserta metodologinya, yaitu pendidikan, lahir dari basik struktur masyarakat. Sehingga apapun kerja- kerja yang dilakukan, akan sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam artian sesungguhnya dan bukan artificial.
Penguasa Negara dan yang menguasai mereka (kapitalisme) menciptakan kebutuhan kita sekaligus pemenuhan atas kebutuhan itu. Semakin dalam kita membutuhkan, semakin dalam pula kita terjerembab dalam kubangan ketergantungan. Dan mereka juga menciptakan lubang lubang penjerat berisikan diri kita yang tentu sudah diatur terlebih dahulu apa isinya oleh mereka semua.
Sebagai analogi, ketika tuan penjajah membutuhkan kopi, maka kita akan menanam kopi. Ketika butuh rempah rempah ,maka kita akan menanam rempah rempah. Dan…..sama halnya dengan ketika penjajah itu membutuhkan sarjana Indonesia untuk bisa berbahasa inggris dengan capaian tertentu yang tentu saja ukuran mereka yang membuat, maka institusi pendidikan kita akan menuntut kita untuk bisa berbahasa inggris dengan capaian tersebut. Ini dilakukan dengan dalih sebagai syarat mutlak untuk manusia hidup di era globalisasi. Pertanyaannya, mengapa kita yang diwajibkan untuk bisa berbahasa seperti yang mereka bahasakan? Mengapa bukan mereka saja yang harus belajar berbahasa Indonesia untuk bisa berkomunikasi dengan kita? Ah, ternyata kita tak menemukan alasannya kecuali memang Negara ini adalah Negara SEMI KOLONIALIS yang tejajah secara halus dengan menseolah olahkan kebutuhan mereka menjadi tanggung jawab kita.
Pada beberapa dekade lalu, system pendidikan di Indonesia melahirkan sekolah sekolah spesialis(terutama tehnik) lalu apa maksudnya? Tidak lain dan tidak akan lain bahwa konsekuensi mutlak sebagai Negara industrial pabrikan, maka Negara dituntut untuk menciptakan tenaga kerja dengan cepat, muda, terampil, kuat, dan tentu sja MURAH! Karena syarat syarat itulah yang diinginkan oleh para pemodal pemodal kapitalisme untuk menancapkan cengkraman kuku investasi modalnya.
Dalam pendidikan semi-kolonialis inilah, kita manusia Indonesia ini tidak diperbolehkan untuk berinisiatif, membentuk dan mengubah sesuatu. Karena merekalah yang mengubah dan membentuk. Dan mesinlah yang menjalankan kemudian mereka yang meletakkan kita sesungguhnya adalah manusia yang menjadi bagian dari mesin yang tak bernyawa itu.
MUDA SEKOLAH…TUA KAYA RAYA….MATI TAK BERGUNA!
Lalu ,apakah kita masih 100% percaya kepada institusi institusi pendidikan formal yang jelas jelas beraurat aroma pelenyapan kesadaran atas realiats kita? Tapi….Kita kan berada didalamnya? Betul juga….lalu bagaimana?
Kita tak bisa lepas dari keironisan pertanyaan di atas. Karena inilah yang dihasilkan oleh kontruksi sosial yang memperkosa makna pendidikan dengan hanya mengakui instusi institusi pendidikan dalam arti formal (sekolah) dan menistakan makna pendidikan yang terajarkan dalam relasi sosial (komunitas, keluarga, lingkungan,dll) sebagai pendidikan non formal dan dianggap tidak sepenting pendidikan formal.
Percayalah tidak akan ada(walaupun ada) seorang petani yang mengharapkan anaknya menjadi penerusnya, sebagai petani. Karena pendidikan system pendidikan yan dikonstruksikan pada mereka memang tak mengajarkan mereka untuk memelihara dan mempertahankan alat produksi mereka yaitu berupa tanah. Dan keadaan yang demikianlah melunturkan dan melenyapkan kebanggaan mereka sebagai petani yang kemudian lebih tergiur untuk menjual ala produksi mereka untuk disulap menjadi pabrik- pabrik bermesin berbahan bakar keringat manusia.
Berandai andailah bahwa pendidikan itu untuk pekerjaan yang akan meningkatkan derajat hidup dengan mencari dan menggali segebok uang untuk masa tua yang menjanjikan.
0 komentar:
Posting Komentar