Prolog
"... Disini seolah seisi bumi akan membuka diri dan kita akan dapat menatap langit tanpa rintangan, karena tidak ada yang lebih tinggi dari Puncak Pegunungan... Dan kemungkinan semangat ini telah menjadi sebuah maniak dalam diri, dan di dalam bathin pun seolah tidak ada putus-putusnya terdengar suara !!!!..."
.."Pergilah ke gunung.... ke gunung... ke gunung !!"..
.."Pergilah ke gunung.... ke gunung... ke gunung !!"..
Nun jauh diatas sana semua rencana dan persiapan yang sematang apapun yang telah disusun oleh seorang pendaki yang paling berpengalaman sekalipun, tidak dapat dijadikan tolak ukur atau jaminan akan kesuksesan ekspedisi yang dilakukannya. Pilihan yang ditawarkan diatas sana hanya dua, yaitu berhasil atau sama sekali gagal. Jangan pernah berharap dapat menjadi seorang pendaki atau petualang sejati apabila diri kita lebih banyak bertanya daripada bertindak.
Mendaki gunung adalah dua buah potongan kalimat yang mungkin sudah biasa terdengar dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin yang langsung ada dalam benak kita adalah rasa capek, kedinginan, buang-buang uang dan waktu, badai, mencari mati, dan lain sebagainya. Gaya hidup para pecinta alam yang menganut kebebasan memang sering di salah persepsikan oleh masyarakat awam. Padahal tidak sedikit sumbangsih yang telah diberikan oleh para pecinta alam untuk negara ini. Karena para pecinta alam biasanya tak jarang selalu berada digaris depan dalam kegiatan penghijauan, bencana alam, berbagai misi operasi SAR, dan lain sebagainya.
Defenisi dasar dari kata mendaki adalah melakukan perjalanan dari suatu tempat yang lebih rendah menuju suatu tempat yang lebih tinggi. Untuk dapat mencapai puncak gunung, tentunya banyak yang harus disiapkan oleh seorang pendaki agar dalam perjalanan alam bebas yang akan di laksanakan menjadi menyenangkan. Tapi tak jarang ada juga pendaki yang terlena atas keberhasilan pendakian yang dilakukannya. Bagi saya pernyataan ini adalah suatu anggapan yang sangat keliru. Karena tidak selamanya kesuksesan akan selalu menyertai pendakian yang dilakukan oleh diri pendaki.
Jika musibah diatas itu tiba-tiba datang menghampiri perjalanan mereka, siapakah yang akan mereka jadikan sebagai kambing hitam atas kejadian itu..? Rekan seperjalanankah..?, cuaca buruk..?, team..?, diri mereka sendiri..?, atau bahkan kambing hitam yang lainnya..? Dan apakah kehidupan bebas seorang pendaki gunung itu menunjukkan tingkat IQ dan ESQ yang dimilikinya rendah..? Dan apakah memang benar bahwa tujuan akhir dari sebuah perjalanan panjang para pendaki gunung adalah kematian..? Sudah jelas para pendaki bukanlah jenis manusia yang mencintai kematian (Amor Pati).
Dalam buku ini secara gamblang saya akan mencoba menceritakan kembali kisah pendakian gunung Raung. Diawali dengan dibuatnya keputusan untuk membuka jalur diantara Gunung Suket, Gunung Lempeh dan Gunung Raung. Tapi setelah sekian hari kita sama-sama berjuang membuka daerah terpencil, situasi pun mulai tidak terkendali. Disinilah akhirnya ego manusia mulai ikut bermain. Perpisahan pun akhirnya menjadi kata akhir.
Ketika Pendaki Menentukan Pilihannya, merupakan sebuah cermin yang merekam tentang pertentangan antara ideologi, logika, tahayul, persahabatan, pengorbanan, keberanian, ketakutan, pesimis dan optimis. Semua terekam pada kisah pendakian bulan Juli 2009 menembus Gunung Suket, Gunung Lempeh dan Gunung Raung. Dimana saat-saat kritis yang terjadi di atas gunung sana di yakini mampu merubah pola pandang seorang anak manusia secara drastis. Demi satu tujuan, yaitu bertahan hidup. Sampai akhirnya puncak dari semua kisah pendakian yang penuh dramatisasi ini adalah dengan tercetusnya sebuah kesepakatan “Siapa sekarat bunuh”.
Dikutip Dari buku "Ketika Pendaki Menentukan Pilihannya" Karangan Nazly Fachrudi Nz
0 komentar:
Posting Komentar