KEBANGKITAN dan kejayaan facisme Hitler, Mussolini dan militerisme Jepang diklaim sebagai berakhirnya pengaruh Revolusi Perancis pada abad ke-20. Usainya Perang Dunia II dinyatakan sebagai takluknya facisme terhadap demokrasi. Rontoknya tembok Berlin dan tercerai-berainya Uni soviet yang mengakhiri Perang Dingin selama empat dasawarsa, diakui sebagai kemenangan kapitalisme liberal atas komunisme. Akibatnya, buku ''The End of Ideology'' dari Daniel Bell dan ''The End of History and The Last Man'' dari Francis Fukuyama dianggap kitab suci oleh masyarakat triumphalisme, khususnya para pemenang dari pengamat kapitalisme neoliberal.

Maraknya korupsi, yang di masa lampau hanya dilakukan para eksekutif dan yudikatif, namun kini melanda legislatif secara spektakuler, bagi Rubag, tidak terlepas dari serbuan budaya posmodernisme yang ditunggangi kapitalisme neoliberal. Konsumerisme secara bebas, sesuai kredo pasar bebas menjadi iman mereka. Iklan-iklan komersial di media massa, khususnya televisi, muncul jadi selingan di nyaris semua acara, termasuk mimbar agama, membuat semua pemirsa tanpa pandang bulu terjerat jaring-jaring konsumerisme.
Semiotika, yang menurut Umberto Eco sebagai ilmu untuk berdusta, tidak saja tersaji lewat tanda-tanda di layar kaca, juga bahasa yang sepintas seperti tidak bermakna, namun berhasil menaikkan omzet penjualan para kapitalis yang mengiklankannya. Dari permen dan kacang hingga mobil mutakhir berharga semilyar ditawarkan, tanpa peduli bahwa bangsa dan negara ini sulit bernapas karena tertimbun utang luar negeri. Trimphalis neoliberal, Fukuyama, penuh percaya diri berpendapat bahwa seluruh dunia akan menjadi seperti Amerika, karena dia yakin semua orang menginginkan kemakmuran dan kebebasan seperti di negeri Amerika.
''Kita ingin perubahan!'' merupakan iklan politik yang terdengar kian gampang diucapkan orang sejak kampanye Pilpres putaran pertama, 5 Juli lalu dan semakin menggema menjelang Pilpres putaran kedua, 20 September mendatang. Rubag menganggap kalimat singkat itu hanya semiotika bahasa. Hampir semua pelontar ucapan ''Kita ingin perubahan!'' tersebut tidak bisa menjelaskan gagasan yang terkandung dalam kalimat itu. Akhirnya muncul kesan, kalau yang dimaksudkan dengan perubahan hanyalah pergantian rezim, seperti bus tua berganti sopir dan kondektur. Padahal calon sopir dan kondektur baru belum tentu lebih mengerti elemen-elemen mesin yang sering menyebabkan mobil mogok atau tidak mampu menanjak dan melaju kencang.
Sedangkan untuk mengganti bus dengan kendaraan baru, adalah hal yang tidak mungkin, karena mereka cuma sopir dan kondektur, bukan pemilik mobil. Lagi pula, kondisi mesin yang tidak stabil bukan ulah dari sopir dan kondektur yang hendak digantikan, namun akibat kerakusan dan kekasaran kru bus sebelumnya yang lengser, dengan memilih rute yang tidak layak dan mengabaikan aspek pemeliharaan, karena ongkos perawatan masuk kantong sopir sendiri.
Keinginan untuk mengubah satu wujud ke bentuk yang lain dalam waktu singkat, hanya mungkin terjadi dalam dunia sulap. Pesulap bisa mengubah sapu tangan jadi merpati, dengan kecepatan tangan atau hipnotisme, namun bukan untuk selamanya. Demikian pula semiotika dalam revolusi informasi dan komunikasi yang gencar lewat media elektronik dan cyberspace, mengubah kebohongan jadi kebenaran, fiksi jadi kenyataan.
Kepenatan nalar akibat pergolakan politik kekuasaan yang terus menerus di tingkat internasional maupun nasional, menyebabkan sebagian besar konsumen media terbius magis pencitraan. Tidak peduli yang dilihat dan didengarnya bohong atau benar, khayal atau nyata, baik atau buruk, yang penting baru dan menghibur. Imperialisme bahasa lewat semiotika memperlancar upaya kapitalisme neoliberal menguasai dunia, sehingga program ''E Pluribus Unum'' atau ''Dunia di Bawah Satu Atap''-nya Amerika Serikat cepat terealisasi.
Narasi besar yang mengandung paparan njelimet tentang sesuatu tidak dibutuhkan dan diabaikan para konsumen media. Sebaliknya, narasi kecil dan sepotong-sepotong, meski tidak dipahami maknanya, jadi populer. Karenanya, opera sabun lebih digandrungi dibanding cerita serius. Bahkan sejarah tidak diminati karena kebanyakan pemirsa lebih suka gosip tentang para selebritis, sehingga terjadi amnesia sejarah. Mereka tidak peduli masa lampau mempersetankan masa depan, yang penting masa kini yang abadi.
Bahkan dengan maraknya jagat pertelevisian yang dalam tempo dua dasawarsa mampu mengisi sebelas saluran dan di antaranya memiliki 24 jam tayang sehari, maka cuma pasien penghuni Rumah Sakit Jiwa saja yang tidak terpengaruh budaya posmo. Mungkin hanya mereka yang tidak paham kalau iklan berbunyi, ''Hari ini tidak dimulai sejak kita membuka mata di pagi hari, tapi sejak jauh sebelumnya,'' atau ''Pelihara! Kalau nggak, gue bongkar rahasia elu! '' adalah iklan rokok. Bahkan tidak mengerti kalau ucapan ''Kita ingin perubahan!'' merupakan slogan politik.
Rubag baru tahu kalau kedipan mata, senyum hingga bau keringat dan parfum yang bagian dari semiotika yang nonbahasa. Tanpa sadar, dia bersama sebagian besar masyarakat terlelap dalam dekapan budaya posmo yang ditunggangi globalisasi neoliberal. Kebudayaan, menurut para pakar, merupakan nilai-nilai yang meruyak seluruh sektor kehidupan. Bila diingat lebih ke belakang, agaknya budaya posmo telah dipromosikan secara gencar ketika pemerintah Orba mencomot politik dan menjadikan ekonomi sebagai panglima yang dibarengi slogan dan yel-yel, ''Politik No! Ekonomi Yes!''
Ideologi pembangunan yang diarsiteki Kabinet Pembangunan dengan program beristilah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) memporakporandakan bangunan-bangunan politik di Tanah Air. Depolitisasi kampus dengan mata acara Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) disertai doktrin masa mengambang selama puluhan tahun di masyarakat membuat generasi yang kini berusia 40 tahunan jadi buta politik. Bukan hanya buta, bahkan alergi politik.
Dalam periode yang sama, tahun 1979 Margaret Thatcher menjadi PM Inggris untuk dua kali masa jabatan, sedangkan tahun 1981, Ronald Wilson Reagan naik jadi Presiden AS ke-40 juta untuk dua kali masa jabatan. Keduanya dikenal sebagai konservatif penganut kanan baru atau neoliberalis, yang juga menganggap ekonom kelahiran Australia, Friedrich von Hayek sebagai nabi mereka. Malah dengan fanatisme tinggi, buku Hayek, ''Road to Serfdom'' dianggap buku sucinya untuk menyebarkan ide pasar bebas ke tingkat global.
Buku yang ditulis bersamaan dengan lahirnya IMF dan World Bank tahun 1944 itu semakin populer di AS sejak kepindahan Hayek dari London School of Economic (LSE) Inggris ke Chicago, AS, tahun 1959. Sedangkan paham kapitalisme neoliberal tersebut dikembangkan serta diselusupkan ke Indonesia oleh para alumnus Universitas Barkeley, AS yang dikenal dengan sebutan ''4 Mafia Barkeley'' karena keempatnya duduk sebagai menteri Kabinet Pembangunan. Rubag masih ingat, pada tahun 1980-an muncul istilah-istilah seperti debirokratisasi, deregulasi, privatisasi dan tinggal landas.
Saat itu, semua istilah tersebut lancar untuk ditiru, tapi tidak dipahami maknanya. Ternyata semuanya berkaitan dengan pasar bebas dan globalisasi, yang menggiring bangsa Indonesia ke ambang pintu lorong perbudakan atau road to serfdom. ''Mudah-mudahan yang dimaksud perubahan bukan rute menuju penjajahan dan perbudakan, agar bangsa Indonesia yang belum seluruhnya paham arti kemerdekaan justru digiring jadi eine nation von kulis und kuli unter den nationen atau sebuah bangsa kuli dan kuli-kuli bangsa lain, seperti yang pernah dikhawatirkan Bung Karno,'' desis Rubag sembari memadamkan lampu kamarnya seiring bunyi kokok ayam menandaskan subuh terdengar.
0 komentar:
Posting Komentar