Template by:
Free Blog Templates

Sabtu, 09 Mei 2009

KONSUMERISME

Di dalam masyarakat kontemporer telah terjadi perubahan mendasar mengenai sikap atau perilaku dalam mengkonsumsi barang atau produk. Bukan lagi aspek fungsi tetapi sifatnya lebih pada keuntungan emosional (emotional benefits). Mereka membeli sebuah produk atau barang bukan karena pertimbangan pada aspek fungsi, tetapi pada umumnya sekedar suka, tertarik mengikuti trendsetter atau bahkan bisa saja sekedar iseng-iseng. Di dalam perubahan tersebut, yakni sikap konsumsi yang tidak lagi berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Di pihak lain, konsumen dapat juga dipandang sebagai satu fenomena bawah sadar (unconscious) yang dengan demikian ke dalam kawasan psikoanalisis. Bahkan iklan mampu "menyulap" suatu keinginan (want) menjadi sebuah kebutuhan (need), mesti dicoba dan harus di beli, sehingga mendorong penonton untuk bertindak konsumtif. Iklan sebagai pembujuk tersembunyi yang beroperasi dibawah alam sadar, secara tanpa disadari tayangan iklan membujuk kita terus mencoba dan membeli. 

Padahal jika dikaji secara fungsi model atau varian dari produk tersebut tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. .budaya diatas adalah sebuah bentuk budaya konsumsi, sebagai bentuk spesifik budaya materi (material culture). Konsumen yang dirujuk melalui budaya konsumer dari lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi atau lebih tepatnya, "perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka hidup". Begitu banyak orang yang merasa bangga mengikuti trendsetter dengan model terbaru untuk aktualisasi diri atau kelompoknya. Jika ada anggapan bahwa posisi Indonesia semakin strategis dan penting di kawasan Asia bukanlah semata-mata pertimbangan politik saja, tetapi pertimbangan secara ekonomi pun sangat kuat, terutama di dalam menciptakan pangsa pasar bagi produk-produk manufaktur Barat. Hal ini didukung terutama oleh sikap masyarakat konsumen kita yang responsif dan agresif terhadap suatu produk yang di iklankan melalui berbagai media terutama televisi, apa pun dan berapa pun harganya akan di lahap secara rakus.

Terdapat beberapa pendekatan iklan, diantaranya dengan pendekatan gaya hidup (life style) merupakan sebuah alternatif yang dominan saat ini. Bagaimana posisi atau peran sebuah produk dalam sebuah gaya hidup tertentu. Jika tidak menggunakannya, rasanya kurang 'pas' atau tidak percaya diri. Rokok Marlboro diyakini sebagai representasi cita rasa dan gaya hidup 'cowboy' ala amerika; minumnya mesti Coca-cola, lalu celananya mesti merk Levi's dan seterusnya. Selanjutnya semua hal diatas berubah menjadi sebuah keharusan. Jika tidak demikian rasanya kurang 'sreg' atau kurang sempurna. Tuntutan terhadap benda atau asesoris yang homologin inilah yang mendorong perilaku konsumtif.

Rokoknya lelaki merupakan 'key word' sebuah iklan rokok yang segera saja dapat memancing atau menciptakan persepsi bahwa jika merokok merk X maka ia akan merasa sebagai lelaki sejati yang jantan dan macho. Banyak iklan-iklan yang secara tidak sadar mengidentikan pembelinya dengan produknya, misalnya minyak goreng pilihan ibu bijak; sabunnya kecantikan; kendaraannya para eksekutif. Jika tidak menggunakan sabun diatas rasanya belum cantik sehingga kita mesti membelinya dan sungguh tidak bijak kalau ibu-ibu tidak memasak dengan minyak goreng diatas..hmmm
Dorongan untuk mencoba membeli tersebut terjadi pada umumnya secara tidak sadar. Kita pun secara tidak sadar mengkonsumsi produk-produk yang ditayangkan TV.

Kiranya dapat kita sepakati bahwa Orientasi pada nilai-nilai budaya pada gilirannya menjelmakan perilaku manusia sebagai anggota masyarakat dengan peradabannya yang khas. Sejauhmana masyarakat itu berorientasi pada nilai-nilai budayanya menentukan tangguh-rapuhnya ketahanan budaya (cultural resilience) masyarakat ybs, yang terutama terukur dalam berbagai pertemuan antar-budaya (cultural encounters). Dalam sejarah terkenal proses sirnanya berbagai peradaban, yang pada umumnya terjadi seiring dengan punahnya masyarakat pendukung budayanya. Oleh proses kepunahan itu sesuatu kebudayaan membeku sebagai peninggalan sejarah, dan apa yang tinggal sebagai sejarah itu hanya mengisyaratkan pernah hadirnya kebudayaan ybs. Sejarah juga menunjukkan bahwa kepunahan itu terjadi manakala ketahanan budaya sesuatu masyarakat mengalami kerapuhan, sehingga dalam pertemuan antarbudaya mudah menyerah pada dominasi nilai-nilai budaya asing yang menerpanya. 

Bahkan tidak mustahil suatu masyarakat dengan ketahanan budaya yang rapuh mudah sekali terhanyut oleh kecenderungan glorifikasi terhadap budaya asing; perwujudan yang eksesif dalam hal ini bisa menggejala sebagai xenomania. Kecenderungan memandang sesuatu gaya hidup asing sebagai model biasanya merupakan pembuka jalan menuju glorifikasi budaya asing ybs. Kecenderungan demikian itu semakin mudah berkembang dalam proses globalisasi dengan persebaran pengaruh media informasi yang terjadi secara searah (unidirectional), yaitu dari masyarakat yang menguasai teknologi maju menerpa masyarakat yang relatif tertinggal. Mencuatnya globalisme niscaya jelas berdampak terhadap manifestasi kebudayaan bangsa-bangsa sebagai kelanjutan dari makin meningkatnya pertemuan antarbudaya sejagad. Namun demikian saling-pengaruh yang terjadi dalam pertemuan antarbudaya tidak berlangsung secara timbal-balik, melainkan tetap cenderung bersifat satu-arah. 

Keunggulan dalam penguasaan teknologi itu berarti juga meningkatnya kemampuan untuk memperkenalkan berbagai gagasan serta meragakan beraneka gaya hidup secara massal dan global yang disajikan oleh media massa, sehingga menjangkau kalangan luas dalam masyarakat yang diterpanya. Ini berarti bahwa dalam pertemuan antarbudaya terjadi perkenalan dengan nilai budaya lain, yang pada gilirannya memperkenalkan norma-norma perilaku dan gayahidup baru atau: lain, asing pada masyarakat yang diterpanya. Proses termaksud terjadi secara serentak dan bersamaan (simultaneous) dari berbagai sumber maupun secara segar dan segera (instantaneous) sebagai aktualitas, sehingga mudah berpengaruh sebagai pengarah perkembangan kecenderungan (trend-setting) pada masyarakat yang diterpanya. 

Dalam pertemuan antarbudaya global jelaslah bahwa fihak yang didukung teknologi canggih lebih berfungsi sebagai pengalih (transmitter) nilai-nilai kebudayaan dan norma-norma kemasyarakatan, sedangkan fihak yang terbelakang dalam penguasaan teknologi cenderung menjadi penerima (receiver). Dalam pengalihan nilai dan norma itu fihak penerima seringkali kurang disertai sikap kritis, bahkan cenderung menerimanya sebagai model gayahidup masyarakat yang dianggap lebih maju dan modern. Ini berarti bahwa dalam pertemuan antarbudaya itu mudah terjadi hubungan yang berpola superior vs inferior, disertai sikap pemujaan fihak yang inferior terhadap fihak yang superior. 

Penyanjungan nilai dan norma asing sedemikian itu indikatif bagi lemahnya ketahanan budaya masyarakat ybs. Gejala demikian itu biasanya ditandai oleh munculnya berbagai budaya sandingan (sub-culture) dan budaya tandingan (counter-culture). Dalam masyarakat yang bersikap permisif terhadap kecenderungan termaksud bahkan mudah terjadi keterasingan dari budaya sendiri (cultural alienation) pada sebagian warganya khususnya kaum mudanya yang lebih cenderung bergerak maju bersama suasana dan kecenderungan zamannya.

dikutip dari arsip http://www.resistbook.or.id/

| Free Bussines? |

0 komentar:

Photobucket