POSTMODERNISME (POSMO)
Konteks Hidup dan Pelayanan Kita Dewasa Ini
Bagian 1
Jaman di mana kita hidup sedang mengalami ”mega-shift” – pergeseran raksasa!, dari era modern ke era posmodern (posmo). Aspek-aspek dari posmo, entah di sadari atau tidak di sadari telah meresap dan merembesi hampir semua aspek kehidupan kita: dari dunia pendidikan hingga dunia hiburan; dari dunia bisnis hingga dunia keagamaan; dan dari dunia seni hingga dunia kesehatan!
Tulisan yang sedang ada di tangan anda ini sebuah pengantar untuk memahami fenomena posmo beserta implikasi-implikasi dalam kehidupan dan pelayanan Kristen dewasa ini.
Lima Ciri Modernitas yang kian ”suram”
di dalam Masyarakat Posmo
Posmo atau Postmodern secara harafiah berarti ”sesudah modern”. Jadi Posmo sebenarnya boleh dipandang sebagai kelanjutan atau penyempurnaan, bahkan dalam beberapa aspek boleh dikatakan sebagai ”pengingkaran” terhadap nilai-nilai yang dipegang teguh dalam era modern. Nilai-nilai modernitas apa sajakah yang dikoreksi, disempurnakan, bahkan diingkari oleh masyarakat Posmo?
Kemutlakan Kebenaran
Dunia modern percaya bahwa kebenaran itu bersifat absolut. Jika ”sesuatu” itu benar, maka ia benar di mana saja, tak dipengaruhi oleh tempat, waktu dan budaya. Jika kita dapat membuktikan bahwa molekul air itu terbentuk dari dua atom Hidrogen dan satu atom Oksigen, maka kebenaran itu bukan hanya berlaku di Jakarta saja, melainkan juga di London, Hong Kong dan di mana saja. Itu bukan hanya benar sekarang ini saja; itu benar 200 tahun silam, 2000 tahun silam, 200 tahun lagi, dan kapan saja.
Masyarakat posmo menolak mentah-mentah kemutlakan kebenaran. Bagi mereka kebenaran itu relatif. Itu mungkin benar bagimu, tapi belum tentu bagiku! Pengobatan Barat mungkin benar bagimu, tapi belum tentu bagiku! Jika bagiku, pengobatan Timur itu benar, anda mau apa? Bagi masyarakat Posmo, ”Truth is in the eyes of the beholder” (Kebenaran itu terletak dalam mata si pengamatnya). Dengan kata lain, kebenaran tidak lagi ditentukan dari ”sononya” melainkan diciptakan oleh subyek yang mengalaminya.
Contoh konkrit dari pengingkaran kemutlakan kebenaran dapat dilihat dalam fenomena ”the Da Vinci Code”. Buku itu lebih dari sekedar novel. Latar belakang sejarah yang menjadi lahan main dari aktor-aktor utama semacam Robert Langdon dan Sophie Neveu, di klaim oleh sang pengarang, Dan Brown, sebagai fakta! Uniknya ”fakta” historis yang ditampilkan oleh Dan Brown itu menolak mentah-mentah ”fakta” historis yang dikenal oleh masyarakat selama ini. Dan Brown menciptakan sebuah kebenaran menurut sudut pandangnya sendiri.
Namun, efek langsung dari pengingkaran kemutlakan kebenaran ini jelas terlihat dalam wacana keagamaan dewasa ini. Kini yang marak didengung-dengungkan adalah pluralisme, bukan ekslusifisme. Secara sederhana pluralisme dapat digambarkan dalam slogan: ”Sebagaimana ada banyak jalan menuju ke Roma, demikian pula ada banyak jalan menuju kepada keselamatan.” Yesus bukan satu-satunya jalan; Dia hanyalah salah satu jalan ke sorga; Kebenaran Kristen bukanlah satu-satunya kebenaran; ia adalah salah satu pilihan dari banyak pilihan kebenaran yang ada di dunia ini.
Superioritas Rasio
Era modern tak dapat dilepaskan sama sekali dengan berkembangnya paham rationalisme, yang menempatkan rasio sebagai ”hakim” dan ”raja” yang memutuskan segala sesuatu. Itulah sebabnya di era modern, iman dianggap sebagai kebenaran yang sifatnya subyektif dan tak layak untuk dijadikan wacana publik. Orang tak lagi perlu bergantung pada wahyu, apalagi tahyul sebab, melalui studi empiris dan rationalisme ilmiah, seseorang bisa menetapkan apa yang sejati dan benar. Hal ini bisa terlihat jelas dalam jawaban yang diberikan oleh ilmuwan besar, Marquise de Laplace, kepada Napaleon, kala sang Jenderal besar ini bertanya mengapa Laplace tidak menyebut Tuhan sama sekali dalam karya besarnya yang berjudul, Celestial Mechanics, Laplace menjawab, ”Saya tidak pelu hypothesis semacam itu!”
Superioritas rasio ini terlihat jelas dalam dunia pendidikan. IQ (Intellegent Quotient) dipergunakan sebagai alat pengukur yang menentukan keunggulan manusia. Para orang tua mendambakan agar anak-anaknya punya IQ tinggi semacam Albert Einstein dan merasa rendah diri bila anak-anaknya hanya punya IQ” jongkok”.
Icon Modernitas bisa kita lihat dalam film yang amat digemari pada era 70-an, Scooby Doo. Pesan film kartun itu jelas! Segala misteri di alam semesta ini dapat dijelaskan dengan rasio dan pendekatan ilmiah. Ada jawaban rasional dibalik fenomena hantu,makhluk gaib dan hal-hal lain yang tak terjelaskan!
Masyarakat Posmo bukannya membuang sama sekali rasio.
Bagi mereka rasio saja tidak memadai. Rasio bukanlah solusi atas segala sesuatu! Masyarakat Posmo ingin memperlengkapi rasio dengan aspek-aspek lain dari kehidupan manusia yang telah diasingkan dalam kehidupan masyarakat modern. Itulah sebabnya, pengalaman, emosi, bahkan misteri mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Posmo.
Jadi jangan heran kalau kini anda mendapati hal-hal semacam EQ (Emotional Quotien), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ (Adversity Quotient) kadang lebih diunggulkan dari IQ (Intellegent Quotient.
Jangan heran pula jika anda mendapati layar televisi anda penuh dengan film-film dan sinetron-sinetron yang mengandung muatan misteri dan mistik. Jangan heran pula bila gereja-gereja yang dipadati pengunjung pada dewasa ini bukanlah gereja-gereja yang memanjakan akal para pengunjungnya dengan khotbah yang hermeneutikanya (tafsirnya) akurat serta masuk akal, melainkan gereja-gereja yang memanjakan emosi dan pengalaman para pengunjungnya melalui konser musik yang menggugah emosi, khotbah yang penuh canda tawa, dan apa yang diklaim sebagai ”direct-experience” (pengalaman langsung) dijamah oleh Tuhan, entah itu melalui fenomena healing, visi, atau nubuatan!
Icon dari dunia posmo bisa kita lihat jelas dalam film X-files dan Star Trek: The Next Generation. ”The Truth is out there” yang menjadi slogan film the X-files seolah memperingatkan kita bahwa hidup penuh dengan misteri yang tak dapat dipecahkan dengan rasio dan pendekatan ilmiah saja. Sedang tokoh Data (seorang manusia-robot yang amat cerdas dan selalu akurat, namun rindu menjadi eorang manusia sejati yang mengenal dan sanggup memberi respons terhadap sentuhan-sentuhan emosi) dalam Star Trek: The Next Generation, menggambarkan kerinduan masyarakat Posmo akan sentuhan-sentuhan emosi yang telah lama ditenggelamkan oleh masyarakat modern.
Budaya Representatif
Ciri lain dari modernitas yang hendak dibongkar oleh masyarakat posmo adalah budaya representatif. Dalam budaya semacam ini, ada asumsi bahwa orang ingin dikontrol dan menginginkan pihak lain membuat keputusan bagi mereka. Jadi jangan heran bila tugas leadership di era modern adalah mengontrol serta membuat aturan-aturan bagi para pengikut agar perusahaan bisa memiliki kinerja yang baik.
Jangan heran pula bila di dalam dunia pendidikan, murid yang terbaik adalah murid yang bisa mengungkapkan kata-demi-kata secara sempurna apa yang diajarkan oleh gurunya. Sementara dalam dunia kompetisi tarik suara, pemirsa adalah mereka yang duduk tenang sembari sekali-kali berteriak memberi dukungan, namun tak punya kuasa untuk mengambil keputusan siapa yang layak menang. Keputusan ada di tangan para juri!
Masyarakat Posmo lain. Mereka lebih menyukai budaya participatory ketimbang budaya representatif. Dalam budaya participatory ada asumsi bahwa orang memiliki berbagai macam pilihan dan harus membuat pilihan-pilihan mereka sendiri. Jadi jangan heran bila tugas leadership kini lebih diarahkan untuk memberanikan dan memberdayakan orang untuk menjadi pemimpin ketimbang memberikan satu set aturan agar orang jadi pengikut yang baik. Jangan heran pula, bila dalam dunia pendidikan, tugas seorang guru tidak lagi menjadikan murid semacam “cloning” dari dirinya, melainkan memberdayakan dia untuk menjadi penemu-penemu kebenaran bagi dirinya sendiri. Jangan heran pula, bila AFI dan Indonesian Idol menjadi acara favorit, karena kini para pemirsa bukan sekedar pasif menonton para jawara vokal di atas panggung; mereka kini turut menentukan siapa yang layak jadi pemenang!
Itulah masyarat posmo yang tak puas dengan dunia yang representatif, melainkan participatory! Itulah masyarakat Posmo yang bermentalitas “supermarket”!: ”Aku punya banyak pilihan dan tak seorangpun boleh memutuskan bagi diriku sendiri karena akau sendiri yang harus memutuskan; ’beli yang ini’ atau ’beli yang itu’”.
Masyarakat yang berbasis Kata (Word-Based)
Masyarakat modern adalah masyarakat yang berbasis kata (Word-based). Itulah sebabnya buku layak menjadi salah satu icon dari modernitas. Bila anda memperhatikan sebuah buku, pastilah terdapat penataan yang rapi dan terstruktur, entah itu secara logis atau kronologis. Itulah ciri lain dari masyarakat modern yang menghendaki segala sesuatu yang tertata rapi, beraturan dan jelas.
Namun masyarakat posmo lain! Mereka adalah masyarakat yang digerakkan oleh image atau ”gambar” (image-driven). Itulah sebabnya kalau anda mengunjungi websites komersil macam e-Bay dan Amazon anda akan berjumpa dengan gambar-gambar dengan pesan-pesan mereka. Fenomena lain yang menarik dapat kita jumpai dalam penerbitan Ensklopedia. Kini Ensiklopedia multimedia macam Encarta yang sarat dengan muatan gambar secara berangsur juga menggantikan ensklopedia-ensklopedia klasik macam Americana yang lebih dominan bermuatan kata.
Iklan-iklan di televisipun kian banyak yang menonjolkan ”image” ketimbang keunggulan produk dan harga kompetetif mereka. Iklan rokok merek Sampoerna misalnya, – Gang Hijau – yang konon mendongkrak penjualan rokok tersebut secara signifikan boleh dikata tak berkata apa-apa tentang keunggulan produk dan harga kompetetif Sampoerna. Iklan tersebut lebih menjual”image” dari Rokok yang bermerk ”Sampoerna”.
Masyarakat yang digerakkan oleh gambar (image-driven), menurut Leonard Sweet, pakar Posmo dari Drew University, juga cenderung terbuka pada metafor dan cerita-cerita. Jadi jangan heran kalau masyarakat posmo kurang tertarik dengan khotbah-khotbah yang bersifat proposisional. Namun, mereka akan membuka telinganya bagi naratif-preaching (khotbah naratif-cerita) dan kesaksian-kesaksian hidup. Mereka akan ”tertidur” kala khotbah yang sarat muatan teologis yang ”melayang di awan-awan”dikumandangkan dari atas mimbar; namun akan membuka telinga dan mata mereka lebar-lebar kala mendengar sebuah khotbah yang diwarnai dengan ilustrasi kehidupan yang ditayangkan dalam bentuk video-klip dan drama serta ditampilkan dalam bentuk presentasi powerpoint.
Masyarakat yang mengagungkan individualisme
Masyarakat modern adalah masyarakat yang mengagungkan individualisme. Kata kunci dalam masyarakat modern adalah: ”I” atau ”Me” (Saya). Jadi jangan heran slogan yang terkenal sekali dalam era modern adalah: ”I think therefore I am” (Aku berpikir, maka Aku ada).
Namun dalam masyarakat Posmo, yang namanya ”me” (aku) itu memerlukan ”we” (kita) untuk menjadi ”be” (ada). Jadi dalam masyarakat Posmo individualisme digantikan dengan individual-communal, atau dalam bahasa kerennya ”Connected”.
Coba anda tebak bagian mana dari internet yang dewasa ini dikunjungi oleh orang? Sudah pasti ”chatting room” bukan! Kenapa chatting room?Karena dalam chatting room-lah terjadi perpaduan yang unik di antara individual dan komunal. Kok bisa? Begini penjelasannya: Jika anda memasuki ruang “chatting” (milik www.yahoo.com sebagai misal) – ruang itu amat personal!!! Orang lain tidak bisa pakai “account” anda tanpa ijin anda. Namun anda tahu, kala anda masuk ke ruang “chatting”, anda tahu anda tidak sendirian karena anda terhubung dengan orang-orang lain. Inilah yang disebut perpaduan di antara Individual-Communal!!
Kenapa program kuis Who Wants to Be a Millioner begitu popular? Karena program kuis semacam ini menempatkan seorang individu (sendirian) di pusat dari pentas televisi, namun pada saat yang bersamaan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki kaitan dengannya baik secara fisikal maupun secara virtual. Itulah sebabnya setiap saat ia mendapat kesulitan, ia dapat dengan muda meminta bantuan dari audience yang hadir di studio ataupun seorang teman. Sebuah perpaduan yang unik di antara individual-komunal bukan?
Ringkasan
Sebagai penutup dari rangkaian artikel mengenai Postmodernisme ini akan disajikan sebuah tabel yang meringkaskan pergeseran besar dari aspek-aspek dari modernitas kepada aspek-aspek dari Posmo di awal abad XXI ini.
Kebenaran bersifat Mutlak (Absolut) —————–> Kebenaran bersifat relatif
Rasio (Akal) —————————–> Emosi/Experience (Pengalaman)
Representative —————————> Participatory
Word-based ———————————> Image Driven
Individual ——————————–> Individual/Communal
Sabtu, 09 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)







0 komentar:
Posting Komentar